SuratRakyat: Mitos dan Pertanyaan Mengenai Ateisme

by admin


Posted on May 22, 2013 at 19:56:18


Sumber: http://www.suratrakyat.com/article/LppUUbEIga7p____mitos-dan-pertanyaan-mengenai-ateisme

Ateisme adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi.  Dalam kata lain, seorang ateis tidak memercayai adanya bentuk kesadaran yang biasa disebut Tuhan, dalam penciptaan alam semesta.  Di negara-negara maju yang sekuler, keberadaan ateis bukanlah hal yang aneh. Bahkan, populasi ateis berkembang pesat karena adanya kebebasan berpikir, kemajuan teknologi,  dan pengetahuan yang mudah didapat. Lalu bagaimana dengan ateis di Indonesia? Apakah ada manusia yang tidak percaya kepada Tuhan di negara yang memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia? Apakah menjadi ateis di Indonesia melanggar hukum dan tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila yang menjadi falsafah dasar kenegaraan?

Banyak sekali mitos yang salah mengenai seorang ateis. Cukup banyak masyarakat di Indonesia menanggap bahwa orang yang tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah orang yang bebas tak terbatas, tidak mempunyai batasan-batasan moral, sehingga akan merugikan orang lain. Ada pula yang menganggap ateisme sama dengan komunisme atau seorang ateis pastilah komunis. Anggapan awam terhadap ateis ini ternyata banyak yang keliru. Hal ini disebabkan karena adanya stigma buruk mengenai ateisme sehingga penjelasan yang benar mengenai ateisme sulit didapat.

Tidak sedikit juga masyarakat yang bertanya-tanya mengenai ateisme. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai ateisme yang sering ditanyakan oleh masyarakat, yang saya coba jawab berdasarkan penjelasan dari narasumber dan observasi.

Apakah yang dimakud dengan ateisme?

Ateisme adalah ketidakpercayaan akan adanya Tuhan ataupun dewa-dewi. Terdapat berbagai alasan ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi, dari alasan saintifik, filosofis, maupun alasan humanisme. Setiap orang memiliki alasan ketidakpercayaan masing-masing. Yang menyamakan seorang ateis satu dengan lainnya hanyalah posisi yang sama, yaitu posisi ketidakpercayaan kepada Tuhan. Ateisme berasal dari kata 'a-teisme' yang merupakan negasi terhadap teisme. Banyak yang salah kaprah dengan menganggap bahwa ateisme berasal dari kata 'ate-isme' yang merupakan bentuk 'isme' atau ideologi. Kesalahan konsep ini yang sering membuat orang lain berpikir bahwa ateisme sama dengan isme-isme lain seperti agama.

Apakah orang ateis yang tidak percaya tuhan memiliki etika?

Moralitas dapat tercipta tanpa memercayai keberadaan Tuhan, moralitas sepenuhnya tidak tergantung pada Tuhan dan ajaran-ajaran agama. Itu berarti ateis tidak hanya lebih dari sekedar mampu menjalani kehidupan bermoral, mereka bahkan mungkin mampu menjalani hidup lebih bermoral ketimbang pemeluk agama yang mengaburkan hukum  dan hukuman ilahi dengan benar dan salah.

Apa yang akan menghentikan Anda melakukan sesuatu yang buruk? Apakah jika tidak ada Tuhan anda akan melakukan sesuatu yang buruk? Apakah merupakan moralitas yang buruk jika seseorang hanya dapat bertindak menurut etika jika seseorang melakukannya karena takut atas hukuman atau janji imbalan?

Moralitas manusia tidak sebatas karena takut atas hukuman Tuhan dan pendambaan terhadap berkah Tuhan (dengan adanya dosa-pahala dan surga-neraka).  Tidak hanya ateis, umat beragama sekalipun tidak melulu melakukan kebaikan hanya karena mendambakan surga atau takut pada murka Tuhan dan neraka. Sirkuit altruisme dan neuron cermin di otak manusia membantu manusia untuk mempunyai moralitas. Sirkuit altruisme membuat manusia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain, neuron cermin membuat manusia merasakan kesedihan yang diderita oleh orang lain sehingga melahirkan rasa empati. Dengan adanya sirkuit-sirkuit ini, manusia, baik yang beragama, percaya Tuhan ataupun tidak, dapat mempunyai moralitas.  Lalu apakah seorang ateis pasti tidak pernah merugikan orang lain? Apakah seorang yang beragama pastilah mempunyai moralitas? Tentunya hal ini tergantung oleh orang yang bersangkutan.

Banyak yang menanyakan dari mana datangnya moralitas orang yang tidak beragama. Namun, sangat jarang menanyakan kepada diri sendiri, “Mengapa mereka memilih moralitas A atau B”, atau menanyakan “Apa alasan mereka bermoral?”. Apakah seorang bermoral atau memilih moral A karena takut hukuman Tuhan? Untuk orang yang tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan,  moralitas adalah tindakan atau keputusan terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.

Apakah tujuan dan makna hidup bagi orang ateis?

Tujuan hidup orang-orang ateis sangat beragam dan tergantung pada visi hidup masing-masing. Tanpa ide tentang Tuhan dan kehidupan mendapatkan surga, tujuan hidup dapat lebih luas dan berwarna tanpa dikejar oleh batasan-batasan untuk mendapatkan tempat setelah kematian.

Memahami nihilistik dengan mengetahui bahwa kita akah kehilangan eksistensi setelah kematian, bukan berarti membuat kita sebagai manusia menjadi depresi dan ingin mengakhiri hidup. Ada atau tidak ada Tuhan, kita dapat memaknai hidup dengan hasrat-hasrat kita sendiri dan tidak hanya tujuan-tujuan apapun atau yang siapapun ciptakan bagi kita. Kita sendiri dapat memilih tujuan hidup kita dan menikmati hidup bersama individu lain dengan beraneka warna.  Bahkan seorang yang beragama mempunyai cita-cita dan tujuan hidupnya sendiri.

Sophie, salah satu admin grup Indonesian Atheists di facebook, memberikan pandangan mengenai hidup dalam komentarnya di bawah ini.

"Hidup yang sangat sebentar membuat kita dapat menikmati pencapaian-pencapaian. Bayangkan, betapa membosankan hidup selama-lamanya yang membuat pencapaian kita nampak tidak berarti karena ada kesempatan yang tidak terbatas. Mengetahui bahwa hidup hanya sementara dan tidak akan selama-lamanya membuat hidup lebih menarik dan berarti"

Mungkin begitulah sebagian kaum ateis memaknai hidupnya

Bagaimana orang ateis menghadapi kematian?

Saya sendiri mengenal seorang ateis muda yang sedang menghadapi kematiannya. Bukannya pasrah, seorang ateis muda tersebut nampak semakin produktif dalam mewujudkan cita-cita hidupnya. Pemahamannya bahwa tidak ada hidup setelah kematian nampaknya dapat membuat ia semakin mengerti pentingnya hidup dan memberikan sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik.

Bagi mereka yang tidak percaya tuhan dan kehidupan setelah kematian, jika orang yang mereka cintai meninggal maka berakhirlah hidupnya, dan mereka yang hidup akan meneruskan hidup orang yang sudah tiada dengan meneruskan cita- citanya dan menyebarkan pemikirannya. Seorang ateis tidak dapat membohongi diri mereka sendiri dengan harapan hidup setelah mati yang akan mempertemukan mereka dengan orang yang  dicintai setelah mati. Atau harapan akan keadilan yang tidak kita dapatkan saat hidup. Bagi mereka, kita yang masih hiduplah yang harusnya berjuang mendapatkan keadilan itu, bukan berharap adanya keadilan setelah kematian.

Apakah ateisme sama dengan fasisme NAZI dan Komunisme?

Tentu tidak sama. Dari definisi yang telah saya sebutkan di atas, ateisme hanyalah posisi ketidakpercayaan pada eksistensi Tuhan dan dewa-dewi.  Menurut Fredrick Engels, Komunisme adalah doktrin mengenai keadaan bagi kemerdekaan proletariat.

Sering sekali kita melihat tudingan bahwa ateisme bertanggung jawab atas fasisme  dan pemikiran komunisme.  Namun, jika kita melihat sejarah, Gereja Katolik berpihak pada Franco yang fasis dalam Perang Saudara di Spanyol sampai tahun 1960an. Di Italia, Vatikan bahkan menandatangani perjanjian Lateran yang terkenal dengan reputasi buruk dengan pemerintahan Fasis pada 1929, memberikan saling pengakuan antara Italia fasis dan Negara Vatikan dan menjadikan Mussolini pemimpin yang di bawahnya Katolik Roma menjadi agama resmi Italia.  Nazi Jerman pun bukanlah negara ateis. Hitler sendiri bahkan mempertahankan pandangan tradisional Jerman tentang wanita yang perlu berpusat pada “Kirche, Kuche, Kinder” – Gereja, dapur, dan anak-anak.   Bahkan sebuah concodart, perjanjian dari bagian hukum gereja katolik dan pemerintah berkuasa yang memberi gereja hak istimewa, ditandatangani pemerintah Nazi dan Gereja Katolik pada 1933. Kerja sama antara gereja Protestan dan  Nazi sangat dekat dengan disokong oleh tradisi anti-Semit dalam Protestanisme Jerman.

Dalam kasus komunisme Soviet, negara tersebut mengakui secara resmi ateis. Namun, keputusan yang diambil oleh pemerintah Komunis Soviet tidak ada hubungannya dengan ateisme. Komunisme Soviet  berakar dari pemikiran Karl Marx. Marx dikenal atas kata-katanya bahwa agama adalah “candu bagi rakyat”. Tapi adalah salah jika mengambil frasa tersebut secara terpisah dan beranggapan bahwa Marx mengatakan bahwa agama perlu dihapuskan dengan paksaan sesegera mungkin. Marx sungguh percaya penghapusan agama, tapi cara melakukannya adalah menciptakan sebuah masyarakat tempat di dalamnya orang-orang tidak lagi membutuhkan penghiburan agama. Tidak perlu melarang agama karena dalam negara komunis agama menjadi sama sekali tidak dibutuhkan.

Di Indonesia, komunisme sendiri bahkan berawal dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang merubah gerakannya menjadi SDI Merah yang kemudian menjadi PKI. Tidak sedikit kita menjumpai tokoh-tokoh komunis yang beragama. Dapat kita ambil contoh Tan Malaka,  tokoh Marxis Indonesia yang juga bapak pendiri Republik ini. Kita dapat melihat pandangan Tan Malaka tentang agama dalam kata-kata yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia,

“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menganggap ateisme menyebabkan fasisme dan komunisme, sama dengan menganggap bahwa fasisme dan komunisme disebabkan oleh kumis, dan semua orang berkumis pastilah fasis dan/atau komunis.

Mengapa orang ateis sering menyerang agama?

Sebelum menyimpulkan bahwa ateis sering menyerang agama, ada baiknya  mengetahui apakah “serangan” yang dimaksud adalah bentuk penyerangan personal, baik fisik ataupun dalam bentuk argumentum ad hominem , atau sebuah bentuk dialektika. Kita harus mengerti bahwa tidak ada satupun yang kebal kritik, termasuk ide tentang agama dan prinsip ketuhanan.

Ateisme sendiri bukanlah merupakan doktrin, sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang ateis tidaklah seragam. Banyak orang ateis yang mendukung keberadaan agama, namun sangat menentang kekerasan bentuk apapun yang mengatasnamakan agama. Kritik atau penyerangan terhadap agama tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memercayai Tuhan. Seringkali sesama umat beragama yang berlainan interpretasi kitab suci dan berlainan agama saling menyerang satu sama lain. Agama yang satu mengatakan bahwa pemeluk agama lainnya salah, akan masuk neraka dan disiksa selama-lamanya. Agama yang lain juga sering kali beranggapan demikian. Bahkan ada yang melakukan penyerangan secara fisik hanya karena berbeda pandangan. Pertanyaannya di sini adalah, siapakan yang sering melakukan penyerangan terhadap agama?

Apakah ada orang yang tidak memercayai Tuhan di Indonesia?

Ateis adalah minoritas di Indonesia, namun mereka ada dan menjadi warga negara Indonesia. Walaupun minoritas, jumlah mereka tidak sedikit. Dalam komunitas Indonesian Atheists di Facebook yang didirikan Oleh Karl Karnadi saja, jumlah  anggota yang terdaftar sebanyak 1326 orang. Grup Facebook ini didirikan oleh Karl Karnadi pada tahun 2008. Tujuan dari pembentukan grup ini adalah sebagai sarana untuk berbagi dan sebagai support group untuk kaum ateis dan mereka yang tidak beragama. Pernah beberapa kali member grup ini diusir dari rumah karena ketidakpercayaan mereka dan lalu dibantu oleh member lainnya untuk mendapat tempat tinggal. Sebagai minoritas di Indonesia, tidak jarang diskriminasi terjadi pada mereka, sehingga mereka saling membantu satu sama lain.

Anggota dalam grup ini tidak hanya mereka yang tidak percaya pada Tuhan, tetapi juga kaum beragama yang mendukung hak mereka untuk tidak memercayai Tuhan dan hak mereka yang tidak beragama. Member grup ini juga cukup sering berkumpul untuk diskusi, piknik, berlibur, atau bahkan sekedar main kartu. Mereka juga terkadang melakukan bantuan sosial untuk korban bencana dan melakukan kegiatan sosial lainnya.

Selain itu, kelompok ateis di Indonesia juga membuat page Facebook "Anda Bertanya Ateis Menjawab", atau disingkat dengan ABAM, untuk berinteraksi dengan masyarakat yang yang memiliki pertanyaan mengenai ateisme. Page ini dibuat oleh Virgie Albiant juga untuk memperlihatkan pada masyarakat Indonesia bahwa ateis sama saja dengan manusia lain, bahwa kaum ateis bukanlah monster tanpa moral seperti yang ditakutkan oleh masyarakat. Menurut beberapa testimoni dari pengguna Facebook yang berkunjung ke page ABAM, para ateis yang menjawab pertanyaan di page ini sangat sopan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung dengan sabar. Walaupun kadang pengunjung berkata kasar dan mencaci maki para ateis. Tidak jarang mereka yang anti terhadap ateis menjadi menghargai mereka.

Sila Pertama Pancasila adalah "Ketuhanan yang Maha Esa". Apakah artinya orang-orang ateis tidak dapat hidup di Indonesia?

Pancasila adalah penggabungan ideologi yang ada di Indonesia. Ideologi ketuhanan terangkum dalam sila pertama, ideologi kemanusiaan dan humanisme terangkum dalam sila kedua, ideologi nasionalisme terangkum dalam sila ketiga, ideologi demokrasi terangkum dalam sila keempat, dan ideologi keadilan dan sosialisme terangkum dalam sila kelima. Jika anda beranggapan bahwa sila pertama artinya mewajibkan setiap warga negara Indonesia wajib beragama dan bertuhan, maka sila kedua mewajibkan setiap WNI menjadi humanis, sila ketiga mewajibkan setiap WNI menjadi nasionalis, sila keempat mewajibkan setiap WNI menjadi demokratis, dan sila terakhir mewajibkan setiap WNI menjadi sosialis.

Tentu Negara Indonesia yang mempunyai slogan "Bhinneka Tunggal Ika" bukanlah negara yang menyeragamkan pemikiran. Negara ini lahir dari perbedaan-perbedaan, bukan negara yang menginginkan perbedaan itu disamaratakan. Semoga masyarakat Indonesia mulai menghargai perbedaan dan tidak lagi mendiskriminasi minoritas.

Tags: ateis, ateisme, atheism, atheist
Permalink | Comments (0) | Last updated on May 22, 2013 at 19:56:18

The Journal of Undergraduate International Studies: "State and Religion in Indonesia"

by admin


Posted on May 14, 2013 at 17:31:07


An interview about the how state and religion  interact with each other in Indonesia, and the challenges it brings to atheists living in Indonesia.

On August 17th, 1945, standing atop the steps of his modest verandah, the mononymous Javanese revolutionary Sukarno declared the independence of Indonesia. The announcement signified the belated liberation of the Indonesian islands from over 300 years of Dutch colonial rule and Japanese occupation during World War II. In practice, however, enormous obstacles remained. It would require a long and sanguinary revolution to permanently dispel the Netherlands and attain their official recognition. Further, internal Communist and Islamic movements compounded the difficulty of uniting the world’s largest archipelago. As the New York Times’ editorial board wrote on November 15th, 1946 [italics added]: “Japan’s ‘Greater East Asia Co-Prosperity Sphere’ has collapsed, but a new one, along democratic lines, may rise. This is the beginning of a future the end of which is veiled.” The prescience of this final word was, perhaps, more accurate than the editors intended. Fast-forward to today, near the 68th anniversary of Indonesian independence, and one finds a nation of contrast. Despite that the 1945 Constitution guaranteed to all citizens the right to practice their religion, the Islamic Defenders’ Front (FPI) raids food outlets during the Muslim fasting month of Ramadan. Despite claims by the likes of Hillary Clinton and David Cameron that Indonesia represents the paragon of Muslim democracy, the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) ranked Indonesia’s judicial system the most corrupt in Asia. And despite judicial chief Mahfud MD’s recent reassurance that “the Constitutional Court has guaranteed the freedom of atheists and communists in this country,” as if the two were synonymous, Indonesian civil servantAlexander Aan was sentenced to two and a half years in prison last year for stating on Facebook that God does not exist. read more in http://internationalstudiesjournal.wordpress.com/2013/05/09/state-and-religion-in-indonesia/
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on May 14, 2013 at 17:31:07

Liputan tentang kehidupan ateis di Indonesia oleh The New York Times

by admin


Posted on April 26, 2013 at 15:58:49


Berikut cuplikan artikel The New York Times berjudul: "For Indonesian Atheists, a Community of Support Amid Constant Fear". Artikel penuhnya ada di: http://www.nytimes.com/2013/04/27/world/asia/26iht-indonesia26.html

nyt JAKARTA — Karina is an atheist, but her friends jokingly call her “the prophet.” That is because she is helping nurture a community for unbelievers in predominantly Muslim Indonesia, where trumpeting one’s disbelief in God can lead to abuse, ostracism and even prison. “It’s very normal for atheists to be paranoid because the environment does not support them,” said Ms. Karina, 26, who uses only one name. But, she said, “in this group people don’t need to be afraid.” Indonesian Atheists was founded with a Facebook page in 2008 and now holds regular gatherings. The Internet has offered its members a safe space to air their opinions, and the feeling of community has made them braver about gathering in public. But recent prosecutions of people who made online comments deemed blasphemous by the country’s courts have stoked fears that they too could come under attack. “Members’ growing outspokenness and courage does not indicate that other people increasingly accept us,” said Karl Karnadi, 29, the group’s founder. He lives in Germany and is candid about being a nonbeliever on Facebook and Twitter. Inside Indonesia, atheists are circumspect about their views, he said, and refrain from public criticism of Islam or any statements that could run afoul of the country’s blasphemy law. Still, he said, that is an advance from a time when people were fiercely secretive. “At first people think they’re alone,” Mr. Karl said in a Skype interview. “But after we meet each other, we feel like we’re accepted. We’re together if anything happens to us, and that feeling of community is very valuable.” ...full article: http://www.nytimes.com/2013/04/27/world/asia/26iht-indonesia26.html
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on April 26, 2013 at 15:58:49

Wawancara mengenai ateisme di Indonesia dan ABAM di Merdeka.com

by admin


Posted on April 1, 2013 at 8:23:24


merdeka-logo

Berikut ini kutipan dari wawancara bersama Merdeka.com membahas tentang kehidupan ateis di Indonesia dan komunitas-komunitas yang kami dirikan. Kutipan artikel di bawah bisa dibaca lebih lanjut di http://www.merdeka.com/khas/kami-tidak-percaya-tuhan-dalan-wujud-apapun-komunitas-ateis-5.html

Artikel-artikel lainnya dari Merdeka.com dalam seri yang sama tentang ateisme bisa dibaca di:

Selamat membaca :)

Gagasan siapa mendirikan Komunitas Ateis Indonesia? Pada Oktober 2008, saya mendirikan komunitas Facebook bernama Indonesian Atheists, disingkat IA (catatan: namanya persis seperti itu dgn istilah Inggris, berbeda dgn ateis indonesia atau komunitas atheis indonesia). Sebelum itu, sebenarnya sudah ada beberapa komunitas ateis di forum-forum atau milis meski belum ada yang dikembangkan serius. Ide dari saya awalnya sederhana saja. Saya ingin tempat berdiskusi dengan teman-teman saya dari Indonesia yang juga ketemu bertemu di Internet dan sama-sama ateis atau agnostik. Awalnya jumlahnya kecil sekali, kurang dari sepuluh orang. Sekarang tentu ini berkembang jauh dari sekadar online di mana kami bisa berkumpul juga di dunia nyata, saling dukung satu sama lain pada saat ada yang terkena diskriminasi. Pada 2011, teman saya (salah satunya akan anda wawancara), mendirikan laman Facebook bernama Anda Bertanya Ateis Menjawab, disingkat ABAM beralamatkan di http://FB.ateismenjawab.com dan ini sedang kami kembangkan. Gagasan ini berasal dari teman saya tadi, tapi saya dan beberapa teman lain sangat mendukung dan ikut mengembangkan. Grup IA di atas diperuntukkan untuk sesama ateis dan agnostik, sementara ABAM untuk semua orang, baik beragama atau tidak. Kami mengharuskan format interaksi di ABAM dalam bentuk tanya jawab sehingga menghindarkan debat kusir atau interaksi tidak sehat. Apa tujuan pendirian komunitas ini? ... Bisa dibaca lanjut di: http://www.merdeka.com/khas/kami-tidak-percaya-tuhan-dalan-wujud-apapun-komunitas-ateis-5.html
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on April 1, 2013 at 8:23:24

"You Ask, an Atheist Answers", a Jakarta Globe interview

by admin


Posted on March 28, 2013 at 12:51:07


ABAM-fb-front-small

Page ABAM baru saja diberitakan di media The Jakarta Globe. Bisa dibaca lengkap di: http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/you-ask-an-atheist-answers/582197 (dalam Bahasa Inggris). Jangan lupa juga kunjungi page ABAM di http://FB.ateismenjawab.com :)

Discussions between atheists and theists, or those who believe in the existence of God, are fragile events that rarely, though not impossibly, manage to do anything more than reinforce just how disparate the two factions’ stances are. This profound divergence is evidently true in Indonesia, where the concept of atheism is still seen as remarkably foreign, to put it mildly. Stigmas and assumptions about Indonesian atheists often paint them as smart-aleck contrarians with a penchant for hedonistic nihilism who leave the burden of proof to believers. To disprove this widespread view, two Indonesian atheists have taken up the call, Karl Karnadi and Virgi Albiant, the latter of which is a pseudonym used by the founder of “Anda Bertanya, Ateis Menjawab” (“You Ask, an Atheist Answers”), an Internet-based forum and community that aims to build a friendly bridge between believers and non-believers. ... Read full article: http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/you-ask-an-atheist-answers/582197
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on March 28, 2013 at 12:51:07

Participate in PhD research about atheists - seeking more Indonesian responses

by admin


Posted on February 22, 2013 at 22:21:56


Bagi yg ateis dan tertarik ikut serta dalam riset mengenai ateis yg di-co-sponsori oleh Atheist Alliance International (AAI), silahkan ikut serta dan baca keterangan di bawah. Ini beda dengan proyek atheistcensus yg sebelumnya ya, yg ini lebih mendalam. Perhatikan bahwa ada batasan waktu keikutsertaan, mohon bantuannya juga untuk disebarluaskan.

Bila ada kesulitan atau pertanyaan silahkan hubungi saya Karl Karnadi di karl@sea-atheists.org. Salam dan terimakasih sebelumnya :)

Please participate in PhD research regarding atheists - covering your experiences as an atheist, your involvement (if any) with secular organisations and your perceptions of discrimination and prejudice (if any) against you as an atheist. : http://unrcfr.us.qualtrics.com/SE/?SID=SV_3QlZZFokgDdWBTf. If you have already participated, thank you very much! If you started the survey, but did not complete it, you should be able to click on the survey link and continue to completion. We are specifically seeking more responses FROM INDONESIA because we have close to enough data for Indonesian responses to be identified at a statistically meaningful level. Participation in this survey is voluntary and anonymous. Your responses will be combined with others, and no personally identifying information will be recorded. Your honest and complete answers are crucial to making sure survey results accurately represent the experiences of atheists. The survey will take approximately 15-20 minutes to complete, and will remain open until 27 March 2013. Please feel free to share this link with anyone that you think would be interested in participating. Tanya Smith General Manager Atheist Alliance International
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on February 22, 2013 at 22:21:56

Atheist Census

by admin


Posted on December 16, 2012 at 10:38:13


Klik di sini!: Atheist Census

Ayo ikut berpartisipasi dalam #AtheistCensus, sensus penghitungan ateis dari seluruh dunia! :)

Kalau bingung Bahasa Inggrisnya bisa isi yg versi terjemahan Bahasa Indonesia di: http://translate.google.com/translate?sl=en&tl=id&js=n&prev=_t&hl=en&ie=UTF-8&eotf=1&u=http%3A%2F%2Fwww.atheistcensus.com%2F

Jangan lupa isi email, klik tombol "Count Me In" dan klik link konfirmasi di email anda, agar data2 anda masuk hitungan. Bila ada pertanyaan atau kesulitan silahkan hubungi saya di karl@sea-atheists.org :) Salam.

Tags: atheist, census, indonesia, nonbelievers
Permalink | Comments (0) | Last updated on December 16, 2012 at 10:38:13

Kumpulan Dokumenter Online Membahas tentang Agama, Sains, Skeptisisme & topik-topik lainnya

by admin


Posted on July 10, 2012 at 8:49:14


Bagi yg tertarik untuk nonton dokumenternya bisa melihat-lihat di http://documentarystorm.com/category/religion/atheism-religion/ Dari Dawkins, Dennett, Bill Maher, Derren Brown semua ada di situ. Berikut ini beberapa dokumenter menarik yang saya rekomendasikan:

1. Derren Brown: Miracles for Sale

http://documentarystorm.com/derren-brown-miracles-for-sale/

2. Religulous (Bill Maher)

http://documentarystorm.com/religulous/

3. Intelligent design on Trial: Mengenai evolusi dan intelligent design

http://documentarystorm.com/intelligent-design-on-trial/

4. The Atheism Tapes (Richard Dawkins, Daniel Dennett)

http://documentarystorm.com/the-atheism-tapes/

5. Faith School Menace (Richard Dawkins)

http://documentarystorm.com/faith-school-menace/

Kontak kami melalui "Contact Us" di atas bila kalian menemukan dokumenter lain yang menarik untuk ditonton atau diperdebatkan. Selamat menonton! :)

Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on July 10, 2012 at 8:49:14

Menghadiri "European Atheist Convention 2012" di Köln, Jerman

by admin


Posted on June 5, 2012 at 23:19:32


Pada tahun 2009 lalu untuk pertama kalinya keberadaan kaum tidak beragama di Indonesia mulai terdengar di dunia. Dua tahun setelahnya IA berkembang pesat dan mulai berafiliasi dengan beberapa organisasi dunia, salah satunya Atheist Alliance International (AAI). Pada tahun ini saya menghadiri konvensi internasional di Jerman dan bertemu dengan berbagai tokoh ateis, freethinker, humanis, aktivis HAM dari seluruh dunia, dan berbagi cerita tentang perkembangan intoleransi di Indonesia yang mengkhawatirkan. Berikut ini beberapa foto yang sempat saya ambil dan sedikit cerita dibalik tokoh-tokoh yg ada di foto:

1). Berbincang dengan Taslima Nasrin, penulis dan feminis terkenal dari Bangladesh yg mengkritik perlakuan Islam terhadap perempuan. Hasil karyanya menyebabkan dirinya mendapatkan berbagai ancaman mati dan tidak diperbolehkan kembali ke tanah airnya. Itu kalungnya harusnya dipakai oleh perempuan yg menikah untuk membawa rejeki bagi suaminya. Taslima sendiri tidak menikah, dia mengenakan kalung tsb sebagai bentuk protes, bahwa kalung itu bisa dikenakan sebagai simbol membawa rejeki bagi diri sendiri (diri perempuan yang memakainya).

2). Dengan Dan Barker, dia bersama dgn istrinya menjadi presiden dari FFRF (freedom from religion foundation), organisasi yg pasang iklan billboards tentang atheism, dan juga berjuang di pengadilan untuk kasus-kasus pro-sekularisme sampai tingkat Supreme Court di AS.

Yang di kanan adalah Leo Igwe, pahlawan besar di kalangan aktivis, aktivis Nigeria yg sempat kerja lama di IHEU, dan menyelamatkan banyak anak-anak di Afrika yg dituduh witchcraft (penyihir), dimana mereka diperkosa dan dibunuh karenanya. Leo sempat terancam fisik karena jasa-jasanya tersebut.

Perhatikan kaos INDONESIA BUKAN NEGARA AGAMA yg saya kenakan. Banyak orang asing penasaran dan menanyakan apa artinya :)

3). Ngopi dan bercerita dengan PZ Myers tentang Indonesia dan diskriminasi yang banyak terjadi di negara kita

4). Yang di tengah itu Annie Gaylor, istri Dan Barker dan co-president FFRF. Yang di kanan adalah Michael Nugent, aktivis, penulis buku, dan pimpinan Atheist Ireland, yg sedang menentang hukum anti-Blasphemy yg baru diterapkan di Irlandia

Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on June 5, 2012 at 23:19:32

Jakarta Globe: "No Need to Believe: Indonesia's Atheists"

by admin


Posted on January 18, 2012 at 19:58:18


Original article in http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/no-need-to-believe-indonesias-atheists/492147

At first glance, Karl Karnadi may look like any other 20-something trying to find his place in the world. It doesn’t take long, however, to realize there is something positively different about him.

Consciously argumentative, eagerly opinionated and thoroughly knowledgeable, Karl stands for something many Indonesians still find utterly unfathomable: He is an outspoken atheist, and the founder of the rapidly growing Indonesian Atheists community.

Karl, 29, does not keep his beliefs private, something many other Indonesian atheists have chosen to do in the face of frequent hostility. He makes no bones about his rejection of what he refers to as supernaturally infused beliefs, and he is passionate about fostering a fundamental change in Indonesia while remaining realistic about the challenges.

Furthermore, Karl promotes tolerance, and is far less hostile toward religion than some of the world’s most recognized scholars of nonbelief such as Sam Harris, Daniel C. Dennett and Richard Dawkins.

Established in 2008, Karl’s IA has 677 active members on its Facebook page who discuss the profusion of religiously related topics around the country.

The IA community has also taken part in a variety of scientific and philosophical seminars and gatherings, and has expanded its ties with similar groups outside Indonesia.

“We’ve built a network with other nonbelievers and humanist organizations in Southeast Asia,” Karl says.

With other atheist associations in Malaysia, the Philippines and Singapore, IA has established a joint Web site called Southeast Asian Atheists, or sea-atheists.org, which hopes to broaden the discussion among atheists from different backgrounds.

“Starting last year, we have also affiliated ourselves with a global network called Atheist Alliance International, through which we build close contacts with similar communities around the world,” Karl said. “From Pakistan, Brazil, Ireland and Afghanistan, there are atheists and agnostics everywhere.”

Karl’s road toward becoming one of the country’s most outspoken atheists was both unique and lengthy. Born in a country where faith takes a strong hold beginning at birth, he grew up religiously in a Christian home.

By his own account, Karl, who now lives in Germany, was brought up in a very religious setting. “My childhood was filled with church activities,” Karl said.

He was even a church pianist up until only two years ago. “I knew nothing about science, about skepticism,” he said. “I wasn’t a rebellious kid compared to others the same age. I accepted all religious teachings and never questioned it in the slightest.”

But his family was also very religiously tolerant. He would often pay visits to acquaintances from other faiths during religious holidays, instilling a sense of open-mindedness, something that would eventually help to shape his atheism.

“I went over to our Muslim neighbors every Idul Fitri to congratulate them. Eventually, every Christmas, our Muslim neighbors would also do the same,” he said. “This very valuable experience has stayed with me, and taught me that religious tolerance is not only possible, but also worth fighting for.”

Karl’s acceptance of his religious upbringing, however, would undergo a crucial change after a move to Germany, where he went to study in his early 20s.

He noticed a change in how many of his Indonesian peers began addressing themselves. Instead of identifying themselves according to a specific Indonesian ethnicity (such as Javanese or Balinese), they referred to themselves as strictly Indonesian. All the different levels of wealth, culture and regional identity that seemed so important back home were suddenly irrelevant.

For Karl this change showed how people, when removed from their comfort zone and placed somewhere foreign, tend to bond with those who are most similar. And while these fellowships might be an obvious psychological response experienced by countless people, for Karl it was something more: An awakening.

He realized that this rare feeling of nationalism was something to strive for, and something that could only be achieved if every Indonesian truly accepted all beliefs. Karl’s convictions evolved into an atypical form of atheism; instead of wanting to rid his country of organized religion, he wanted atheism to be an acknowledged part of a harmonious country. It was unlike most forms of irreligiousness, but Karl was convinced it could work.

“It is sad that only after we experience loneliness in a foreign land are those feelings of nationalism evoked within us,” he said. “Indonesia does not belong to any particular group, nor does it belong to the majority; it belongs to every Indonesian, regardless of their religiosity, or lack thereof. We should always remember this.”

Karl’s transformation from a tolerant-religious person to a tolerant-atheist came after what he calls years of learning and questioning. “I learned that people can be religion-less and still live a happy and moral-filled life full of passion and dreams,” he said.

“My irreligiousness wasn’t shaped in an instant. About eight years ago, I started to acquaint myself with larger philosophical information and knowledge in documentaries and books,” he said.

“At first, I did it all without any intention of leaving my religion. But the more I learned, the harder it was for me to accept any religious teachings, books or anything labeled as ‘holy.’ I started to question, and eventually doubt them.”

Through this doubt, Karl concluded that there was nothing left for him in religion. “I found that all religion basically has the same dogmatism: That you should not question any given teachings,” he said.

He began questioning some of the staunchly religion-based policies in Indonesia, such as why it is compulsory for an Indonesian to be registered under a religion in order to marry, or in some cases, study. The impossibility of even challenging these policies further enraged him.

“Why must we be forced to shut our mouths against publicly criticizing religion or religious beliefs in general?” he said. “I refuse to submit to such restrictions, which are a clear violation of my human rights.”

Once he openly pronounced himself a nonbeliever, Karl realized living by his convictions was going to be a challenge, even as an Indonesian living abroad.

“There are many Indonesian nonbelievers who aren’t as lucky as me,” he said. “Living in Indonesia, they have to lead a double life and are forced to pretend they are religious in order to avoid trouble, discrimination and all forms of negative repercussions, including the violent ones.”

He says that living in Germany shields him from most of his acquaintances’ reactions. As he learned more about atheism and religion, it also became clear just how necessary an open forum was to discuss the variety of beliefs. So it only seems natural that IA came to fruition.

“IA was established to function as a safe haven for the Indonesian nonbelievers, and to eventually accommodate a lot of other people, not just atheists and agnostics, but also some ‘moderate’ Muslim and Christian friends that we have. The IA group has evolved from an exclusive online Facebook group to a real community with real people and real support,” he said.

As IA expands its membership, its notoriety has followed suit. Karl and his peers regularly engage in heated (though rarely immature or disrespectful) arguments on their Facebook page. These debates are not only with religious believers, but also with fellow skeptics.

“It is funny that some people still see our atheist group as the enemy,” Karl said. “All that we are doing is seeking friends and acceptance. While I don’t personally believe in any form of religion, I do believe in religious freedom. And I’ve passionately defended the rights of GKI Yasmin Christians, Shia Islam, Ahmadiyyah and Buddhists to worship according to their beliefs, just as I am defending my own right to not worship anything and to express my opinions freely.”

Though IA has yet to achieve everything Karl and his peers want — namely complete freedom to not believe — they have found comfort in each other’s presence.

“We Indonesian nonbelievers are still highly discriminated against, both by the law and a lot of people, but at least we have each other and no longer feel alone and disheartened,” Karl said.

“We’ve also gotten a lot of support from some of our religious friends who are also very passionate in their fight against religious discrimination.”

Karl said he didn’t know what the future held for IA. “But I dream of an Indonesia where people of various religions or no religion can live side by side without fear. And for Indonesia to truly become a Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity] country that sees diversity truly as a strength, not a weakness.”

For more information go to, www.sea-atheists.org/indonesia

Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on January 18, 2012 at 19:58:18